AMKMedianews.com, Pemalang – Kasus kredit macet sebesar Rp12 miliar yang melibatkan BPR Bank Pemalang terus menuai sorotan publik. Sejumlah pihak menilai persoalan ini tidak hanya menyangkut kelalaian manajemen, tetapi juga lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Pemalang.
Praktisi hukum sekaligus akademisi, Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, menyampaikan pandangan kritis terkait kasus tersebut. Menurutnya, BPR Bank Pemalang sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seharusnya tunduk pada ketentuan PP No. 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah serta Permendagri No. 37 Tahun 2018 tentang Pengelolaan BUMD.
“Pasal 65 ayat (2) PP 54/2017 jelas menyebutkan bahwa kepala daerah berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap BUMD. Sementara itu, Pasal 154 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan kebijakan pemerintah daerah. Kalau sampai terjadi kredit macet senilai Rp12 miliar, bahkan melibatkan anggota DPRD sendiri, ini bukti fungsi pengawasan tidak berjalan,” tegas Imam Subiyanto.
Menurutnya, persoalan kredit macet ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai masalah manajerial. Lebih jauh, hal itu menunjukkan lemahnya political will pemerintah daerah dalam menjaga aset keuangan daerah. Imam juga mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap nasabah kecil. Ia menegaskan bahwa prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen sudah diatur dalam sejumlah regulasi, mulai dari UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, hingga UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,“Ketika manajemen lalai, yang dikorbankan bukan hanya uang daerah, tetapi juga nasabah kecil yang selama ini patuh membayar cicilan. Jika tidak ada transparansi, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap BPR,” jelasnya.
Menurut Imam, kredit macet dengan nilai jumbo merupakan bukti adanya pelanggaran prinsip prudential banking. Direksi maupun komisaris, katanya, memiliki tanggung jawab penuh atas kelalaian ini.
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (3) UU No. 10 Tahun 1998, yang menyebutkan direksi dan komisaris wajib bertanggung jawab bila pengelolaan bank tidak sesuai prinsip kehati-hatian. Selain itu, Pasal 108 PP No. 54 Tahun 2017 mewajibkan komisaris untuk mengawasi jalannya perusahaan.”Adanya temuan OJK hingga pemberhentian Direktur Utama melalui RUPS jelas menunjukkan kelalaian struktural. Komisaris pun tidak bisa cuci tangan karena telah lalai mengawasi manajemen,” tambahnya.
Imam juga menyoroti peran Kejaksaan Negeri Pemalang dalam menangani kasus kredit macet ini. Ia menegaskan, perlu ada pembeda jelas antara perkara perdata murni (wanprestasi) dan perkara pidana yang mengandung unsur penipuan atau fraud,“Jika kredit macet murni akibat wanprestasi, penyelesaiannya cukup melalui jalur perdata. Menggunakan jaksa sebagai debt collector justru berpotensi menimbulkan kesan kriminalisasi debitur,” paparnya.
Sebagai penutup, Imam Subiyanto menyampaikan beberapa rekomendasi agar kasus kredit macet BPR Pemalang tidak semakin merugikan publik:
1. Dilakukan audit investigatif menyeluruh atas seluruh kredit bermasalah.
2. Pemerintah daerah dan DPRD wajib transparan dengan mengungkap nama-nama debitur besar yang macet.
3. Penegakan hukum proporsional: ranah pidana jika ada unsur penipuan, cukup perdata jika sekadar wanprestasi.
4. Perlindungan nasabah kecil harus menjadi prioritas agar kepercayaan publik tidak hilang.
“Pemerintah daerah tidak boleh sekadar menyalahkan pengurus lama. DPRD pun tidak boleh menjadi pengawas sekaligus pemain. Yang terpenting, nasabah kecil jangan dikorbankan atas kelalaian manajemen dan lemahnya kontrol pemerintah,” pungkas Imam Subiyanto.
Kasus kredit macet Rp12 miliar di BPR Pemalang kini menjadi alarm keras bagi tata kelola keuangan daerah. Publik menanti langkah tegas pemerintah, DPRD, dan aparat hukum agar kasus serupa tidak kembali terulang.( Joko Longkeyang ).