AMKMedianews.com, Pemalang – Polemik tentang larangan kepala desa terlibat dalam politik praktis kembali memanas di tengah dinamika demokrasi Indonesia. Ketentuan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi dasar pembatasan tersebut. Namun, bagi sebagian pihak, aturan ini justru menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keadilan dan kesetaraan dalam hak politik warga negara.
Salah satu suara kritis datang dari Sarwono, Kepala Desa Kecepit, Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Ditemui pada Rabu, 16 Juli 2025, ia secara terbuka menyatakan keberatannya terhadap larangan tersebut.
“Kami ini dipilih langsung oleh rakyat, tetapi justru dibatasi untuk terlibat dalam partai politik. Padahal, kami bersentuhan langsung dengan masyarakat dan memahami kebutuhan serta aspirasi mereka,” ujar Sarwono.
Menurutnya, kepala desa yang merupakan representasi masyarakat di tingkat akar rumput semestinya tidak dibatasi dalam berpolitik, asalkan dilakukan secara etis dan tidak mengganggu pelayanan publik.
Larangan tersebut dibuat atas dasar kekhawatiran akan politisasi anggaran desa dan munculnya konflik kepentingan. Pemerintah ingin menjaga netralitas birokrasi desa agar tetap objektif dan melayani seluruh warga tanpa keberpihakan politik.
Namun demikian, pembatasan mutlak ini mulai dipersoalkan. Banyak pihak menilai bahwa larangan tersebut bersifat diskriminatif, apalagi jika dibandingkan dengan pejabat publik lainnya seperti anggota DPR, bupati, atau wali kota yang justru diperbolehkan menjadi pengurus partai.
“Mengapa kami yang juga hasil pemilihan langsung justru tidak diperbolehkan? Ini seperti ada standar ganda,” tegas Sarwono.
Pasal 28 dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menjamin hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Maka dari itu, larangan total terhadap kepala desa dinilai berpotensi melanggar prinsip-prinsip konstitusi.
Keresahan ini turut didukung oleh Wahyudin, S.H., Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasakti Tegal, yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Loning, Kecamatan Petarukan. Dalam kajiannya, ia menilai bahwa pembatasan total tanpa adanya skema alternatif bertentangan dengan asas proporsionalitas dan prinsip nondiskriminasi.
Wahyudin mengusulkan solusi kompromi berupa mekanisme cuti politik, yaitu kepala desa diberi hak untuk mengambil cuti dari jabatannya ketika ingin aktif dalam kepengurusan partai politik atau mencalonkan diri dalam pemilu. Setelah masa cuti selesai atau jika tidak terpilih, ia dapat kembali menjalankan tugas sebagai kepala desa.
“Jika ASN saja bisa cuti untuk maju dalam kontestasi politik, mengapa kepala desa tidak? Cuti politik adalah jalan tengah yang menjaga netralitas sekaligus menghormati hak politik,” ujar Wahyudin dalam sebuah diskusi akademik.
Usulan ini juga diamini oleh Sarwono. Ia berharap pemerintah pusat dan DPR RI bisa mendengar suara dari desa yang selama ini menjadi ujung tombak pembangunan nasional.
Polemik ini menunjukkan adanya ketegangan antara tujuan menjaga netralitas birokrasi dengan tuntutan keadilan dalam akses terhadap hak politik. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang adil, proporsional, dan tidak menafikan hak-hak konstitusional warga negara, termasuk mereka yang mengemban jabatan sebagai kepala desa.
Ke depan, diharapkan tercipta dialog yang terbuka dan solutif antara pemerintah pusat, DPR, dan perwakilan kepala desa di seluruh Indonesia. Tujuannya, membentuk regulasi yang tidak hanya melindungi kepentingan publik dari politisasi birokrasi, tetapi juga menjunjung tinggi asas kesetaraan dan demokrasi substansial.
Akankah suara dari Kecepit menggema hingga Senayan? Atau akan tenggelam dalam riuh politik nasional? Waktu akan menjadi saksi atas arah kebijakan politik hukum desa di Indonesia.( Joko Longkeyang).