AMKMedianews.com, Pemalang – Wacana tentang pelarangan kepala desa menjadi pengurus partai politik kembali mencuat ke permukaan, kali ini melalui kajian akademis yang disusun oleh Wahyudin, S.H., mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasakti (UPS) Tegal. Dalam tulisan ilmiahnya, Wahyudin mengupas secara mendalam ketentuan tersebut dari sisi hukum dan prinsip keadilan konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945.
Larangan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga netralitas birokrasi desa serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan anggaran untuk kepentingan politik praktis.
Namun, dalam analisisnya, Wahyudin mempertanyakan keadilan kebijakan ini. Menurutnya, kepala desa merupakan jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka, pembatasan hak politik kepala desa dinilai tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan prinsip nondiskriminasi dalam Pasal 28 dan Pasal 28D UUD 1945.
“Netralitas memang penting, namun pembatasan total tanpa skema alternatif seperti cuti politik justru dapat mereduksi hak konstitusional warga negara,” tulis Wahyudin dalam artikelnya.
Ia membandingkan bahwa pejabat publik lain seperti anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat struktural masih diperkenankan menjadi pengurus partai politik tanpa diberhentikan dari jabatannya. Hal ini menunjukkan ketimpangan perlakuan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dari sisi teori, Wahyudin merujuk pada prinsip keadilan distributif Aristoteles dan keadilan prosedural John Rawls, yang menekankan bahwa setiap pembatasan harus memiliki alasan yang rasional dan proporsional. Tanpa itu, kebijakan berisiko menciptakan diskriminasi terselubung dalam tatanan hukum.
Kaji dari Perspektif Hak Politik
Dalam tinjauan pustakanya, Wahyudin menyertakan berbagai referensi jurnal ilmiah dan putusan Mahkamah Konstitusi yang mendukung perlunya pembatasan hak politik dilakukan secara proporsional, tidak membabi buta. Mahkamah Konstitusi sendiri dalam banyak putusan telah menekankan bahwa pembatasan terhadap hak warga negara harus memenuhi tiga syarat utama: berdasarkan hukum, memiliki tujuan yang sah, dan bersifat proporsional.
Oleh karena itu, Wahyudin menawarkan solusi berupa revisi kebijakan dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Salah satunya, memberikan ruang kepada kepala desa untuk aktif dalam partai politik selama mengambil cuti dari jabatannya, atau hanya melarang keterlibatan politik selama masa aktif menjabat sebagai kepala desa.
“Negara hukum demokratis seharusnya menjamin partisipasi politik setiap warga negara, termasuk kepala desa, tanpa adanya diskriminasi,” lanjutnya.
Tulisan ini juga mencerminkan suara-suara kritis dari banyak kalangan akademisi yang menilai bahwa larangan kepala desa berpolitik hanya salah satu bentuk dari praktik hukum yang belum sepenuhnya konsisten. Ketika satu jabatan dibatasi keras, sementara jabatan lainnya justru longgar, ketidaksetaraan perlakuan hukum menjadi ancaman nyata terhadap prinsip rule of law.
Sementara di tataran implementasi, Wahyudin menilai bahwa fokus utama bukan hanya pada larangan semata, melainkan bagaimana mekanisme pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan desa dapat diperkuat, agar tetap netral tanpa harus mencabut hak politiknya.
Ia juga mengutip berbagai penelitian dan jurnal seperti milik Azhari (2019), Simanjuntak (2021), dan Rohman (2022) yang menyarankan pendekatan berbasis etika pemerintahan dan penguatan kelembagaan pengawasan ketimbang pelarangan mutlak.
Menutup kajiannya, Wahyudin menyarankan agar pembentuk kebijakan melakukan evaluasi kritis terhadap regulasi yang ada, terutama yang menyangkut hak konstitusional warga negara dalam bidang politik.
“Jika dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan jabatan, negara seharusnya membangun sistem kontrol yang kuat, bukan mencabut hak partisipasi politiknya secara menyeluruh,” pungkasnya.
Kajian ini tidak hanya penting bagi kalangan akademik, tetapi juga menjadi bahan renungan bagi para pengambil kebijakan untuk menata ulang relasi antara politik lokal dan hak asasi warga negara. Dalam semangat demokrasi yang inklusif, keadilan hukum dan kesetaraan politik seharusnya menjadi prinsip utama yang dijunjung tinggi.( Joko Longkeyang).