Pungutan ‘Pemalang Inspiring Teacher 2025’ Disoroti, Praktisi Hukum Sebut Potensi Pungli

Redaksi / amkmedianews.com 26 Agustus 2025, 10:20 WIB

AMKMedianews.com, Pemalang – Polemik pungutan kontribusi sebesar Rp200.000 bagi peserta acara “Pemalang Inspiring Teacher 2025” terus bergulir. Meski panitia mengklaim acara ini diselenggarakan dengan “anggaran mandiri” tanpa menggunakan dana APBD, klaim tersebut tak luput dari kritik tajam dari kalangan praktisi hukum. Mereka menilai kewajiban iuran ini janggal dan berpotensi besar masuk dalam kategori pungutan liar.

Praktisi hukum terkemuka, Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, menegaskan bahwa dalih “anggaran mandiri” tidak secara otomatis membebaskan panitia dari tanggung jawab hukum. “Jika iuran Rp200.000 ditarik secara kolektif melalui mekanisme Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) atau Kelompok Wilayah Kerja (KWK), maka unsur sukarela menjadi hilang. Ini secara efektif berubah menjadi pungutan tanpa dasar hukum yang jelas, sangat rawan dikategorikan sebagai pungutan liar,” ujar Imam pada Senin (25/8).

Imam SBY menambahkan bahwa dalih “investasi pendidikan” untuk membenarkan pungutan ini juga tidak dapat diterima. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 yang secara tegas melarang pungutan tanpa dasar hukum yang sah di lingkungan pendidikan. “Peningkatan kualitas guru adalah kewajiban konstitusional negara, yang seharusnya dibiayai melalui APBD dan APBN. Sangat tidak adil jika beban ini justru dibebankan kepada guru melalui pungutan yang dikemas seolah-olah sukarela,” katanya.

Ia secara khusus menyoroti dampak pungutan ini terhadap guru honorer, yang sebagian besar memiliki pendapatan jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). “Memberi beban tambahan untuk acara seremonial atas nama peningkatan mutu adalah langkah yang jelas-jelas bertentangan dengan asas keadilan. Guru honorer di Pemalang sudah berjuang keras dengan gaji yang minim,” kritik Imam.

Kondisi ini semakin ironis jika dihubungkan dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Pemalang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, IPM Pemalang berada di angka 69,03, menjadikannya kabupaten dengan IPM terendah di Jawa Tengah. “Ini adalah paradoks yang mencolok. IPM rendah, tapi upaya untuk meningkatkan kapasitas guru tidak ditanggung oleh pemerintah. Sebaliknya, malah dibebankan kepada para guru itu sendiri. Ini adalah bentuk kelalaian pemerintah dari kewajiban konstitusionalnya,” tegas Imam.

Sebagai penutup, Imam mengingatkan pemerintah daerah agar lebih cermat dan tidak memberikan ruang pada praktik pungutan yang bersembunyi di balik label “partisipasi sukarela” namun tidak memiliki landasan hukum yang kuat. “Gerakan kolektif dalam dunia pendidikan memang patut didukung, tetapi harus memenuhi prinsip akuntabilitas, transparansi, dan berbasis regulasi. Jika tidak, acara ini tidak lebih dari pungutan liar berkedok pendidikan,” pungkasnya.( Joko Longkeyang).