PEMALANG|Amkmedianews.com – Upaya rehabilitasi Jaringan Irigasi Permukaan D.I Simpur II di Dusun Cengis, Desa Simpur, Pemalang, yang seharusnya membawa solusi bagi petani, justru membuka borok konflik sosial dan mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menertibkan aset publik. Polemik ini bermula dari penertiban bangunan liar yang berdiri di atas saluran irigasi.

Kesulitan Air Kronis Akibat Pendudukan Irigasi
Selama bertahun-tahun, petani di Cengis harus menanggung kerugian akibat kesulitan air. Saluran irigasi dari Kaliwakung, yang vital bagi persawahan, selalu mampet karena badan saluran ditutupi oleh bangunan permanen—mulai dari kios, warung, hingga carport yang didirikan warga di halaman rumah mereka.
Ketika kabar rehabilitasi proyek senilai Rp 199,3 Juta dari Dinas PUTR Pemalang tiba, harapan petani kembali membumbung. Namun, pelaksanaan proyek terhalang oleh bangunan-bangunan ini.

Musyawarah Berakhir pada Ketidakadilan Pembongkaran
Untuk memulai pengerjaan, warga dan pihak terkait mengadakan musyawarah. Hasilnya, pemilik bangunan di atas irigasi setuju untuk membongkar bangunannya. Petani, yang sudah lama menantikan air lancar, berinisiatif melakukan gotong royong pembongkaran.

Namun, proses pembongkaran tersebut menimbulkan konflik horizontal yang serius.
“Awalnya semua sepakat dibongkar. Tapi kenyataannya, pemilik kios hanya mau membongkar lantainya saja, sementara bangunan inti tetap dibiarkan berdiri di atas saluran. Kami yang sudah membongkar total merasa tidak adil, apalagi ada beberapa bangunan yang sama sekali tidak disentuh,” ungkap sumber warga setempat.
Ketidakmerataan penertiban ini menciptakan kecemburuan sosial dan dugaan adanya “main mata” atau perlakuan istimewa terhadap pemilik bangunan tertentu, yang secara langsung menghambat kelancaran proyek dan berpotensi menyebabkan saluran mampet lagi di kemudian hari.

Pemerintah Dipertanyakan: Abai Terhadap Konflik dan Aset Publik
Di tengah konflik yang memanas antara kelompok petani dan pemilik bangunan yang menolak penertiban penuh, peran pemerintah desa Simpur maupun Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten Pemalang justru absen.
“Kehadiran pemerintah di tengah konflik ini dipertanyakan. Mereka seharusnya menjadi penengah, menegakkan aturan, dan memastikan aset irigasi ini steril demi kepentingan umum. Tapi kenyataannya, baik pemerintah desa Simpur maupun dinas terkait memilih bungkam dan membiarkan konflik ini berjalan sendiri,” kritik seorang pemerhati kebijakan publik Desa Simpur.

Masyarakat Dusun Cengis menuntut agar pemerintah daerah segera mengambil sikap tegas. Mereka meminta penertiban dilakukan secara adil, merata, dan tuntas sesuai kebutuhan teknis irigasi, bukan berdasarkan kepentingan individu, sehingga proyek rehabilitasi yang mahal ini benar-benar membawa manfaat jangka panjang bagi pertanian.
















